Menelisik Guru Badut vs Guru Kreatif
Fenomena guru badut menjadi trend belakangan ini. Untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, tak sedikit tenaga pendidik yang mengubah tingkahnya menjadi konyol.
Tak pelak, situasi tersebut menimbulkan pro dan kontra. Sebagian kalangan memuji usaha para guru tersebut, namun sebagian yang lain mengkritiknya habis-habisan.
Sebenarnya apa itu guru badut dan bagaimana perbedaannya dengan guru kreatif? Yuk, simak pembahasannya berikut ini.
Perlukah Guru Bertingkah Konyol untuk Belajar yang Menyenangkan?
Istilah guru badut mengacu pada trend di mana beberapa tenaga pendidik menyampaikan materi pembelajaran dengan bertingkah lucu hingga konyol.
Para guru ini tak jarang juga mengunggah konten pembelajaran ke platform sosial media seperti TikTok, Youtube, Facebook, hingga Instagram.
Ada guru yang menyelipkan humor dalam penjelasannya, bertingkah tidak masuk akal, hingga beradegan seperti pelawak.
Tujuannya sebenarnya sederhana. Mereka ingin siswa tertarik menyimak pembelajaran dan memahaminya dengan lebih mendalam.

Membandingkan Guru Badut dan Guru Kreatif
Meski memiliki tujuan yang baik, fenomena guru badut rupanya menuai pro kontra. Di satu sisi, beberapa pihak, termasuk siswa merasa yang dilakukan para pengajar tersebut sangat baik.
Apalagi, sudah banyak studi yang memperlihatkan hubungan positif antara humor dan pemahaman siswa di kelas.
Ahmet Sahin dalam penelitiannya menemukan bahwa penggunaan humor yang positif terbukti bisa meningkatkan efisiensi pengajaran di sekolah.
Namun di sisi lain, beberapa pihak keberatan dengan fenomena guru badut, sebab:
- Menganggap beberapa tingkah guru bisa menurunkan marwah pengajar
- Menghilangkan esensi pendidikan dan mengubahnya menjadi hiburan semata
- Menambah beban guru yang kini harus bisa melawak
- Menambah tanggung jawab guru yang kini harus mengurus konten di media sosial
- Mengubah profesi pendidik selayaknya entertainer yang haus popularitas
Hal-hal tersebutlah yang pada akhirnya membuat sebagian guru menolak ide untuk turut bertingkah lucu di media sosial. Apalagi, dalam pekerjaannya, guru perlu merasa dihargai. Fiona Longmuir dan rekan sejawatnya menjelaskan bahwa agar bisa bekerja dengan efektif, guru harus dihormati.
Daripada memaksakan fenomena di mana guru harus bertingkah konyol, beberapa kalangan kemudian membandingkan konsep guru badut vs guru kreatif.
Secara definitif, guru kreatif memiliki makna yang lebih luas. Namun secara umum, guru kreatif bisa didefinisikan sebagai pengajar yang mampu menerapkan metode pembalajaran yang menarik untuk membantu meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Bagaimana Cara Menjadi Guru Kreatif?
Dengan mendukung wacana guru kreatif, terdapat beberapa hal yang bisa pengajar lakukan agar pembelajaran tetap menyenangkan. Antara lain:
- Menggunakan metode inovatif, seperti mengajak siswa ke pasar untuk mengamati kegiatan ekonomi.
- Menggunakan teknologi, seperti membuat animasi fotosintesis daripada sekedar menjelaskannya dengan gambar.
- Memberikan siswa waktu untuk berdiskusi dan bertanya.
- Sesekali menyelipkan humor tanpa harus merendahkan martabat guru.
- Mencontohkan kasus menarik, seperti menceritakan bahaya makan jamur beracun dengan kejadian di alam nyata.
- Memberikan hadiah bagi siswa berprestasi.
- Menerapkan metode ajar yang variatif dari presentasi, proyek, hingga eksperimen.
Baca Juga : “KKN Merajalela”, Segera Didik Anak agar Anti Korupsi
Guru Badut vs Guru Kreatif
Guru kreatif memiliki pendekatan yang berbeda dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Sedangkan guru badut menggunakan humor berlebih dan tingkah konyol, seringkali demi menarik perhatian siswa atau popularitas di media sosial.
Namun hal ini bisa memicu kontroversi karena dianggap mengurangi martabat guru dan mengubah fokus pendidikan.
Di sisi lain, guru kreatif menggunakan metode inovatif dan menarik tanpa mengorbankan esensi pembelajaran. Mereka lebih menekankan pada efektivitas pengajaran dengan pendekatan variatif yang relevan dan mendalam.
Dengan demikian, menjadi guru kreatif lebih disarankan untuk menjaga keseimbangan antara menarik minat siswa dan mempertahankan substansi pendidikan.
Comments