Risiko Pendidikan Militer Anak: Trauma & Kesehatan Mental – Semenjak dilantik menjadi Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi mencanangkan cukup banyak program.
Salah satu yang menarik perhatian banyak orang adalah pendidikan militer bagi anak, khususnya kalangan remaja “nakal”. Lantas benarkah program tersebut efektif?

Dampak yang Mungkin Terjadi pada Psikologis Anak
Meskipun cukup banyak masyarakat yang pro mengenai ini, tak sedikit pemerintah maupun akademisi yang mengungkapkan kekhawatirannya.
Hal ini lantaran program tersebut dirasa riskan memicu berbagai isu kesehatan mental, seperti berikut ini:
1. Tekanan Psikologis dari Sistem Hukuman yang Keras
Pada pendidikan militer, pendekatan yang digunakan berbasis behavioristik sehingga anak ditempatkan pada dua pilihan. Mengikuti aturan untuk mendapatkan reward atau melanggar yang membuatnya dihukum.
Alhasil, anak-anak dan remaja yang umumnya bermasalah karena isu sosial dan emosi bukan kembali pulih, melainkan berpotensi mengalami trauma baru.
Ini diakibatkan ketegangan yang berkepanjangan, apalagi jika anak memiliki riwayat kekerasan.
2. Potensi Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD)
Di lingkungan barak militer, setiap siswa pastinya dituntut untuk menjalani pola disiplin. Mulai dari bangun pagi hingga jam tidur, semuanya diatur.
Meskipun hal ini baik untuk menumbuhkan tanggung jawab, pola didikan yang bersifat memaksa bisa memicu remaja mengalami gejala PTSD. Gejala tersebut meliputi mimpi buruk, emosi kurang terkontrol, maupun luka psikis laten.
3. Hambatan dalam Perkembangan Emosi dan Empati
Berdasarkan teori Daniel Goleman, anak-anak pada umumnya tidak memiliki kesadaran diri hingga kemampuan manajemen emosi.
Itulah kenapa, dibutuhkan dukungan orang tua dan orang-orang dewasa di sekitarnya untuk membantunya menumbuhkan kecerdasan emosional.
Sementara itu, pendidikan militer bagi anak menuntut kepatuhan tanpa kecuali. Oleh karena itu, program tersebut berisiko menumpulkan kemampuan empati dan ekspresi emosional anak.
4. Ketimpangan Regulasi Diri dan Kontrol Sosial
Dalam kerangka behavioristik juga dijelaskan bahwa perubahan perilaku dapat dicapai melalui penguatan atau hukuman, seperti yang dilakukan di pendidikan militer. Kendati demikian, banyak akademisi yang menyebut bahwa langkah tersebut tidak begitu cukup jika diterapkan pada anak.
Menurut Aufa Abdillah Hanif (Dosen Psikologi Universitas Islam Negeri Salatiga), langkah mengirim anak ke barak militer bisa jadi solusi cepat untuk mengatasi kenakalan remaja tetapi hasilnya mungkin tidak berjangka panjang.
Ini lantaran tanpa pendekatan humanistik, anak hanya belajar takut pada hukuman, bukan memahami konsekuensi moral secara utuh.
5. Rasa Terasing dan Krisis Identitas pada Remaja
Remaja dengan latar belakang kenakalan seringkali menyimpan konflik identitas yang belum selesai. Ketika mereka dijauhkan dari dukungan sosial dan dipaksa hidup dalam sistem militer tertutup, krisis ini bisa semakin dalam.
Pada intinya, pendidikan militer bagi anak bermasalah memang bisa memberikan dampak positif, seperti membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab.
Namun, pendekatan ini terbilang kurang efektif sebab berisiko menambah beban mental anak jika tidak didampingi intervensi psikologis yang memadai.
Baca Juga : Bukan Cuma Baris-Berbaris: Pembentukan Disiplin Positif dan Karakter Menurut Psikolog Anak
Meski begitu, sistem pembelajaran dan kedisiplinan memang perlu diapresiasi. Program semacam ini diharapkan tidak menyimpang kedepannya dan menjadi bahan evaluasi untuk lebih mengetahui karakter anak agar terhindar dari dampak buruknya.
source :
marketeers
No Comment! Be the first one.